Hujan, bawa saja…

Aku suka hujan.
Apalagi baunya yang bercampur tanah.
Apalagi pelangi sehabis hujan.
Apalagi segelas bandrek, wedang jahe, susu coklat panas, teh panas sehabis hujan.
Apalagi, ada dia di sisiku.

Dulu, memang begitu adanya.

Sekarang, akulah manusia paling pesimis kalau mendengar kata hujan.
Apa itu hujan?
Hanya anak bocah yang mau main hujan!
Hanya anak bocah yang mengulurkan tangannya ke luar untuk merasakan dinginnya air hujan masuk ke sela-sela jarinya.
Hanya anak bocah yang mencipratkan aliran air hujan dari genteng, pada temannya yang sedang bengong.

Aku tahu, aku tahu.
Aku menghina diriku sendiri.

Hujan bukan lagi temanku.
Dia musuhku, kini.

Aku benci terkena tampias hujan.
Aku benci bagaimana hujan membasahi buku PR yang kukerjakan berminggu-minggu.

Hujan yang membawa dia pergi dariku. Hujan yang membawa dia hanyut dan jauh dariku.

Semula menurutku, sesekali tidak salah mengungkapkan uneg-uneg padanya.
Tak salah sedikit memakai nada tinggi agar dia mengerti.

***

Kami berjalan beriringan.
Aku memulai kalimat itu…
“Kamu berubah.”

Dia diam.

“Kamu, itu, berubah!” nada suaraku meninggi.

“Kamu denger gak? Kamu itu berubah!!!” aku emosi.

Dia diam.

“Kamu gak pernah ngerti aku, ya?” seruku.

Dia melepas genggaman tangannya dari tanganku.
“Kamu yang berubah.”

Aku diam.

“Kamu selalu nuntut aku. Tanpa peduli cita-citaku sama sekali…”

“Cita-cita kamu? Di bidang Meteorologi? Itu yang membuat kamu jauh dariku! Cita-cita bodoh kamu itu… Menyiksaku!” seruku.

“Jangan menghina cita-citaku, oke?”

“Kamu gak paham…”

“Udah. Seperti kata kamu. Aku berubah. Terserah kamu saja. Aku mau mengejar cita-citaku, mimpiku, semuanya… Jangan halangi aku lagi!”

Dia menghempas payung itu ke tanah. Berantuk dengan aspal dan genangan air bercampur tanah, batu, kerikil, dan pasir.

Aku sendirian…

***

Sepuluh tahun, adalah waktu merenung bagiku. Sepuluh tahun aku membenci hujan. Sepuluh tahun tiada yang mendampingi, yang menghilangkan paranoid hujan yang ada padaku.

“Menurut Mas Satria sendiri, bagaimana perkembangan cuaca di musim pancaroba ini?”

“Kayaknya bakal merugikan petani… Kami sudah meneliti bahwa…”

Aku mematikan televisi.

Mas Satria. Konyol.

Apa asyiknya jadi peramal cuaca? Apa asyiknya mengamati cuaca? Orang hanya peduli saat prediksi kalian benar.

Saat salah, kau dihina, dan disalahkan.

Sudah kubilang, aku benci hujan.

Semua karena hujan. Hujan menariknya keluar dari area yang kubuat untuk ditempati berdua saja.

Mas Satria yang ada di TV itu, telah pergi dari hatiku, karena hujan…

(Eksperimen project membuat cerpen kedua gue setelah cerpen “Little Stalker Behind The Window. Minta kritik dan saran, ya…)

Tinggalkan komentar